Indonesia bukan hanya tentang Jawa dan Bali, tetapi juga pulau-pulau
lain nan molek, mulai dari Sumatera, Sulawesi, sampai Papua. Tidak heran
negeri ini begitu kaya akan budaya, sebuah keunikan luar biasa yang
tidak dipunyai negara lain. Masing-masing daerah mempunyai kisah,
keunikan, dan kebiasaan sendiri, termasuk adat istiadat, bahasa, bahkan
pakaiannya.
Namun, bisa dikatakan betapa masih sedikitnya suvenir
di negeri ini yang bercerita tentang bangsa Indonesia. Feta Prafidya
Soewondo dan Peni Zulandari Suroto menyadarinya ketika melihat koleksi
keluarga yang mempunyai suvenir dari berbagai negara. Dari seluruh
koleksi itu, tidak satu pun merupakan suvenir yang berasal dari
Indonesia.
Hal tersebut membuat keduanya penasaran dan melakukan
survei. Dari survei kecil-kecilan itulah mereka menyimpulkan bahwa
Indonesia bukannya tidak mempunyai suvenir. Begitu banyak tempat
pariwisata di Indonesia, hanya saja kebanyakan suvenir yang tersedia
tidak dibekali identitas Indonesia. Selain itu, jarang ada suvenir
Indonesia memakai format seperti yang sering ditemukan di luar negeri,
misalnya berupa mug, gelas, magnet, dan piring hias.
”Kami tergelitik, ternyata iya, kok tidak ada suvenir seperti itu di Indonesia?” kata Feta.
Sebenarnya
ada beberapa produsen yang membuat suvenir berupa magnet untuk kulkas
meski belum terlalu banyak. Tetapi, umumnya kualitas barang yang
tersedia kurang bagus, apa lagi bagi pembeli sekelas kolektor. Kualitas
suvenir yang ada sama sekali tidak bisa disandingkan dengan suvenir
serupa dari luar negeri.
Feta mengingatkan, kalau berkunjung ke
luar negeri turis biasanya tidak kesulitan mendapatkan suvenir. Mulai
dari magnet bertuliskan nama negara itu atau piring yang kerap digunakan
sebagai hiasan.
”Kita sering membeli dari luar negeri, kenapa
tidak sebaliknya orang-orang asing itu yang membeli dari Indonesia?”
ungkapnya lagi.
Niat dan nekat
Berawal dari
pemikiran itulah Feta dan Peni kemudian membangun bisnis suvenir. Bisa
dikatakan keduanya berbekal niat dan nekat. Sebab, keduanya tidak
mempunyai pengalaman dalam bisnis tersebut.
”Terus terang kami enggak sadar kalau bisnis ini ternyata sangat kompleks,” kata Feta.
Tidak
heran, selama menjajaki bisnis yang terbilang baru mereka selami
tersebut, Feta dan Peni berkali-kali melakukan uji coba. Ketika itu pula
mereka kerap menemui kegagalan.
”Awalnya usaha kami ini benar-benar trial and error. Produksi yang gagal bisa mencapai 40 persen, sampai rasanya kami tidak tahu harus mengandalkan siapa,” ceritanya.
Mereka
terus memutar otak. Apa lagi mereka pun tahu sesungguhnya di Indonesia
tidak kekurangan sumber daya manusia perajin, mulai dari pembatik sampai
penenun. Belum lagi para perajin produk lain yang mampu mendukung usaha
suvenir ini.
Dari sinilah Feta dan Peni bertekad menjual suvenir
seperti yang banyak tersedia di berbagai negara, tetapi dengan materi
dan identitas lokal. ”Kenapa ini tidak kita lakukan, padahal identitas
budaya lokal kita sangat kuat,” ungkap Peni.
Kebetulan Peni dan
Feta mempunyai keinginan sama, yaitu membuat suvenir yang dengan
melihatnya saja orang segera tahu bahwa suvenir tersebut berasal dari
Indonesia. Mereka ingin orang asing pun mengetahui bahwa Indonesia
negara yang kaya akan pulau-pulau.
Indonesia mempunyai banyak
keistimewaan yang menjadi identitasnya, seperti Candi Borobudur, Tugu
Monas, sampai rumah gadang di Sumatera Barat. Belum lagi ragam tarian,
budaya, dan tradisi yang tak terhitung.
”Salah satu cara (memperkenalkan budaya Nusantara) dengan bercerita melalui suvenir, ada kisah di tiap kemasan ini,” katanya.
Cara
seperti itu setidaknya memberi wawasan bagi kedua pihak, yaitu produsen
dan konsumen. Feta dan Peni membuka banyak referensi sebelum menuangkan
cerita tentang Indonesia dalam setiap produk.
Tergantung perajin
Bermodalkan
uang Rp 75 juta dengan mengorek tabungan, pada 2010 Peni dan Feta
merintis usaha suvenir. Dengan modal yang terbatas itu, keduanya hanya
mampu memproduksi 500 potong untuk setiap jenis.
”Jangan mengira
Rp 75 juta itu termasuk modal besar, malah sangat kecil. Dengan modal
itu kami berusaha menceritakan banyak hal tentang Indonesia,” papar
Peni.
Peni kemudian mengingatkan, di Jakarta, Rp 75 juta sama
sekali bukan apa-apa. Apalagi mereka tidak tinggal di sekeliling sumber
daya yang diperlukan. Oleh karena itu, mereka memerlukan modal besar
untuk menguasai pasar.
”Masalahnya, kalau kita tidak bergerak, pasar kita dikuasai China yang memasukkan barang dengan konten Indonesia,” ujarnya.
Perlahan
tetapi pasti, pasar domestik dan luar negeri yang mereka sasar mulai
terlihat. Memasuki tahun ketiga, Feta dan Peni memproduksi empat sampai
lima kali dalam setahun.
”Pasar kami baru terlihat tahun 2011.
Sementara ini setiap tahun kami memproduksi sekitar 3.000 piring dan
4.000 magnet,” ungkap Peni.
Menurut Feta, keterbatasan untuk
memproduksi dalam jumlah besar juga dikarenakan ketergantungan mereka
terhadap perajin. Untuk gambaran, pihaknya berupaya mendukung perajin
kecil dengan memesan barang dan memberikan masukan untuk perbaikan
kualitas produk.
”Kami juga menantang mereka untuk memperbaiki produksi dan kualitas melalui pesanan,” ujarnya.
Meski
produk mereka mulai dikenal, jangan mengira keduanya dengan senang hati
melayani permintaan ekspor. Sebab, mereka berprinsip suvenir yang
mengusung merek Nalini Intercraft tersebut baru bisa diperoleh bila
seseorang telah mengunjungi Indonesia.
”Selain turis (lokal maupun asing), kami juga membidik (pangsa pasar) para kolektor,” tuturnya.
Sekali
lagi, Feta mengingatkan bahwa melalui produk Nalini Intercraft mereka
ingin bercerita. Mereka mencoba melukiskan kekayaan Indonesia melalui
cuplikan-cuplikan dalam suvenir. Sebuah cerita tentang Indonesia....
(Fabiola Ponto)
Sumber: Kompas Cetak
Sunday, July 29, 2012
Bisnis Suvenir, Kisah tentang Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment